Haul Kiai Imam Rozi (Singo Manjat)
Kiai Imam Rozi (Singo Manjat) adalah
pendiri Pondok Pesantren Singo Manjat Tempursari Klaten. Ia leluhur atau
cikal bakal masyarakat Tempursari Klaten, yang keturunannya dan
santrinya tersebar ke berbagai daerah.
Ia yang membawa misi ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah, mendirikan tempat-tempat ibadah, pondok
pesantren dan majlis taklim, baik di Jawa tengah, Jawa Timur, maupun di
Jawa Barat.
Kiai Imam Razi adalah putra Kiai
Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo
Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia
lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai
Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada
di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil
Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.
Pada usia 24 tahun, Imam Rozi
bergabung dengan Pangeran Diponegoro menentang dan memerangi penjajah
Belanda, bersama Kiai Mojo dan para pejuang lainnya. Ia diangkat sebagai
manggala yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara
Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono VI Surakarta.
Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran
Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, Pangeran Diponegoro menyuruhnya
melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono VI dengan membawa
surat dari Pangeran Diponegoro. Isi surat itu antara lain memohon Paku
Buwono VI menugasinya berdakwah di Surakarta bagian Barat, mencarikan
jodoh untuk mendampingi perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan.
Tahun 1833 M ia telah melaksanakan
tugas tersebut dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal
setelah mendapatkan bimbingan dan petunjuk ruhaniah dari Nabi Khidzir.
Maka pada saat itu berdirilah Masjid Tempursari, yang kemudian
berkembang pesat. Barulah pada tahun 1837 M Paku Buwono VI menjadikan
tanah Tempursari sebagai tanah perdikan.
Kiai Imam Rozi menikah empat kali.
Istri-istrinya yaitu R.A. Sumirah, saudara sepersusuan Pangeran
Diponegoro, Ny. Ahadiyah (Ny. Kedung Qubah, cucu Kiai Syarifuddin Gading
Santren), Ny Marfu’ah (Mlangi Yogyakarta), dan Ny. Sudarmi
(Karangdowo). Kiai Imam Rozi wafat pada tahun 1872 dalam usia 71 tahun
dan dimakamkan di Tempursari. Pengelolaan Pondok Pesantren diteruskan
oleh menantunya, Kiai Zaid, kemudian diteruskan menantu Kiai Zaid, yaitu
Kiai Muhammad Thohir, dan akhirnya diteruskan K.H. Abdul Muid bin
Muhammad Thohir.
makam-kyi-imam-rozi
Kiai Abdul Mu’id (Mursyid Thariqah Syadziliyyah)
Kiai Abdul Muid adalah dzuriyah
keempat Kiai Imam Rozi melaui jalur Ibu Ny. Thohir, putri Kiai Zaid,
yang berasal dari Gabudan, Solo.
Nasab Kiai Abdul Muid secara lengkap
yaitu KH. Abdul Muid bin Kiai Muh Thohir bin Kiai Ali Murtadlo bin Kiai
Nur Hamdani bin Kiai Zainal Ali bin Kiai Abdus Shomad Cilongok,
Purwokerto, Banyumas. (Putra Syarifah Sinah binti Sultan Hasanuddin
Banten bin Syarif Hidayatullah bin)
Syarifah Sinah itu istri dari Sayid Alwy Al-Hadad bin Sayid Abdurrahman.
Ayahandanya, Kiai Muhammad Thohir,
berasal dari Banyumas, yang nyantri di Tempursari pada masa Kiai Zaid,
yang akhirnya menjadi menantu dan meneruskan pengelolaan Pesantren
Tempursari. Ia kemdian dikaruniai anak semata wayang, yaitu K.H. Abdul
Muid.
Sejak kecil sampai umur 14 tahun
Abdul Muid dididik oleh ayahandanya sendiri. Setelah umur 14 tahun, ia
diserahkan kepada Kiai Abdurrahman Somolangu, Kebumen, dan tinggal di
sana sampai beberapa tahun.
Kemudian ia diserahkan kepada KH. Idris
bin Zaid, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, yang masih pamannya
sendiri dari pihak ibu, sampai akhirnya ia diberi ijazah sanat dan
dibai’at sebagai mursyid Thariqah Syadziliyah yang ke-34.
Guru-gurunya yang lain masih banyak,
diantaranya adalah Kiai Abdurrahman Thengklik, Panasan, Boyolali.
Setelah kembali dari pesantren, ia mulai menyebarkan apa-apa yang
diperolehnya dari para gurunya melalui Pesantren Tempursari.
Kiai Abdul Muid mempunyai beberapa
keistimewaan. Al-Kisah, pada suatu hari ada seorang santri yang berbaur
dengan santri-santri Tempursari, mereka tidak tahu dan tidak kenal siapa
dia. Setelah beberapa lama, santri tersebut menghadap sang kiai dan
minta izin pamit pulang.
Ketika ditanya siapa namanya, ia
menjawab dengan nama samaran (Bunyamin). Pada saat itu pula KH. Abdul
Muid tahu bahwa sesungguhnya ia adalah Nabi Khidzir. Setelah peristiwa
itu, ia sering sekali datang ke pesantren itu, membawa hikmah ilahiyah.
Kitab yang paling sering dibaca
bersama para santrinya, antara lain, di bidang fiqh kitab I’Anah
Al-Tholobin. Di bidang tauhid, kitab Ad-Dasuqi. Di bidang tasawuf, kitab
Ihya’ Ulumuddin. Di bidang tafsir, kitab Jalalain.
Diantara para muridnya adalah Kiai
Mudatsir (Jaten, Jimus, Polanharjo, Klaten), K.H. Ahmad Shodiq bin Raji
Musthofa (Pasiraja, Purwokerto), KH. Ali Syuhudi (Nalan, Candirejo,
Ngawen, Klaten), Kiai Ahmad Hilal (Tojayan, Kebonarum, Klaten), KH.
Nawawi (Badean, Rogojampi, Banyuwangi), KH. Muh Ma’ruf Mangunwiyoto
(Jenengan, Solo, murid sekaligus anak), KH. Masyhudi (Prambon, Madiun),
KH. Shofawi (pendiri Masjid Tegalsari, Solo dan pendukung berdirinya
Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo), Kiai Abu Su’ud (Jaten, Jumus,
Polanharjo, Klaten), KH. Muhammad Idris (Kacangan, Boyolali).
Jumat Pahing, 8 Shafar 1360 H/7 Maret
1941, KH. Abdul Mu’id wafat pada usia ke-63. Menjelang wafatnya,
dibacakan surat Yasin. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi
“Qiladkhulil Jannah” (Dikatakan, masuklah ke dalam surga), ia menjawab,
“Insya Allah”, dan kemudian ia menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya
dikebumikan di Komplek Makam Tempursari.
Ia menikah empat kali. Istri pertama,
Ny. Rodiah, melahirkan KH. Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan, Solo. Lalu,
Ny. Robikhah, Istri KH. Jufri, Petak, Susukan, Salatiga. Berikutnya Ny.
Rohilah, istri Kiai Nursalim, Semowo, Salatiga. Istri kedua, Ny Latifah,
melahirkan Ny. Munfarijah, istri Kiai Abu Su’ud, Jaten, Polanharjo,
Klaten.
Istri ketiga, Ny. Thohiroh,
melahirkan Ny. Umi Sarah, istri Kiai Marzuki, Karangmojo, Ceper, Klaten
(Keistimweannya, bisa membedakan makanan halal dan yang haram. Kalau
haram bentuknya makanannya menjadi ulat). Lalu, Kiai Muh Sahli,
Tempursari, Klaten. Kemudian, Ny. Hj. Shofiyah istri KH. Umar Abdul
Manan, Mangkuyudan, Solo. Selanjutnya, berturut-turut Kiai Abdul Hayyi,
Mlangi, Demak Ijo, Sleman. Kiai
Muhyidin menantu KH Muhammad Sami’un (Mursyid Thariqah Syadziliyah),
Parakan Onje, Karangsalam, Purwokerto. Kiai Badrudin, Tempursari Klaten,
dan KH. Imam Muftaroh, Pencol, Randusana, Geneng, Ngawi. Sedang istri
keempat, Nyai Drono tidak dikarunia seorang anakpun
Sumber:http://www.thohiriyyah.com