Jumat, 27 Desember 2013

Sejarah Warung Angkringan atau HIK

    Pada tahun 1970 angkringan hanya berada di stasiun-stasiun kereta api,misal di stasiun Tugu, stasiun Klaten.

    Dahulu cara menjajakannya menggunakan pikulan atau disebut angkringan atau warung HIK(hidangan istimewa kampung).



    Jenis usaha angkringan ini dipopulerkan oleh warga asli kecamatan Bayat,Kabupaten Klaten. Hingga kini telah tumbuh pesat diawali dengan Booming di kota Jogjakarta dan Solo dan telah menyebar ke seluruh pulau jawa yang kini telah berubah menjadi prospek bisnis yang menjanjikan yang telah banyak digeluti oleh pengusaha muda hingga menjadi ribuan tersebar diseluruh kota dipulau jawa,yang pada masa tempo dulu menggunakan pikulan berubah menjadi,gerobak2 kaki lima di seluruh sudut kota.

    

    yang membuat usaha ini menjadi terkenal dan menjanjikan karna,makanan khas jawa tengah ini harganya sangat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.apa lagi di wilayah kampus-kampus yang identik untuk nongkrong para mahasiswa sambil menikmati hidangan khas ankringan,yang sangat terkenal dengan nasi kucingnya.dan cocok pula untuk para karyawan untuk melepas kepenatan seharian setelah bekerja,dan untuk konsumen umun yang ingin berganti suasana makan di rumah, sebagai alternatif dengan susu jahenya.


Sejarah Upacara “Yaqowiyu” Nyebar Apem di jatinom, Klaten

    Di tiap pertengahan bulan Sapar atau Safar penanggalan Hijriyah, Dukuh Jatinom, Kabupaten Klaten akan diserbu berduyun-duyun masyarakt sekitar maupun luar kota untuk menyaksikan upacara Ongkowiyu atau lebih dikenal dengan Yaqowiyu untuk memperebutkan kue apem yang disusun berbentuk gunungan

    
Tak tanggung-tanggung, di puncak acara, apem yang total mencapai 4,5 ton itu diserbu oleh sekitar 50.000 orang yang telah berkumpul. Bisa dibayangkan semeriah apa acara tersebut, orang rela berdesak-desakan dan berlomba meraup apem yang disebarkan oleh panitia.
    Kebanyakan orang datang kesana berharap berkah dari Kyai Ageng Gribig, sang pelopor acara. Bahkan banyak ibu-ibu dan nenek-nenek yang nekat menceburkan diri dalam kerumunan hanya untuk mendapat kue apem dengan harapan agar usahanya lancar dan diberkahi. Tak hanya penduduk lokal, para wisatawan pun  kerap datang menyaksikan kemeriahan acara ini
    Upacara ini berawal dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa “Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin”, untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. Dari situlah kemudian upacara ini berkembang pesat dan menjadi besar seperti sekarang ini.


    Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isa/ subuh/ zuhur/ ashar/ dan magrib.
    Konon menurut sejarah suatu hari di bulan sapar ki ageng gribig yang merupakan keturunan prabu brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci ia membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai bersama sang istri iapun membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat/ yang berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “tuhan berilah kekuatan”
    Makanan ini kemudian dikenal dengan nama apem saduran bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyat.

Catatan: saya hanya mencoba berbagi pengetahuan seputar kebudayaan jantinom, saya tidak menyarankan anda mempercayai hal-hal yang berbau mitos tentang upacara tsb.